Jumat, 23 Mei 2008

Mengelola Ikan Secara Bertanggung Jawab

Kondisi perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih berlimpah. Tanpa adanya konsep pengelolaan yang berbasis lingkungan, dikhawatirkan sumber daya yang sangat potensial ini-sebagai sumber protein yang sehat dan murah-bisa terancam kelestariannya.
Karena itu, sidang Organisasi Pangan Sedunia (FAO) memperkenalkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sejak 1995. Konsep yang diterjemahkan sebagai Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) tersebut telah diadopsi oleh hampir seluruh anggota badan dunia sebagai patokan pelaksanaan pengelolaan perikanan. Sekalipun sifatnya sukarela, banyak negara telah sepakat bahwa CCRF merupakan dasar kebijakan pengelolaan perikanan dunia. Dalam pelaksanaannya, FAO telah mengeluarkan petunjuk aturan pelaksanaan dan metode untuk mengembangkan kegiatan perikanan yang mencakup perikanan tangkap dan budidaya. Sejak pertengahan tahun 1990-an, sebagian ahli perikanan dunia memang telah melihat adanya kecenderungan hasil tangkapan perikanan global yang telah mencapai titik puncak. Bahkan di beberapa wilayah dunia, produksi perikanan telah menunjukkan gejala tangkap lebih (overfishing). Meningkatnya jumlah ikan yang ditangkap bisa dilihat pada gambar 1. Kondisi overfishing di beberapa bagian dunia dapat dibuktikan dengan membuat analisis rantai makanan (trophic level) terhadap ikan-ikan yang tertangkap. Hasil yang ada menunjukkan bahwa aktivitas perikanan oleh manusia menurunkan populasi ikan-ikan jenis predator utama, seperti tuna, marlin, cucut (Myers dan Worm, 2003).
Dengan jumlah alat tangkap yang dimiliki armada perikanan dunia saat ini serta dibarengi kemajuan teknologi yang ada, nelayan modern tidak perlu lagi mencari-cari daerah penangkapan terlalu lama seperti yang dilakukan generasi terdahulu, di mana mereka harus berlayar berhari-hari untuk mencapai fishing ground atau daerah penangkapan ikan.
Akibat dari berkurangnya populasi ikan pada trophic level tinggi, tingkat eksploitasi terhadap jenis ikan yang berada pada tingkat trophic level yang lebih rendah, seperti ikan-ikan pelagis kecil dan cumi-cumi, akan meningkat. Kecenderungan demikian disebut Fishing Down Marine Food Web, yang pertama kali diperkenalkan Pauly et al, 2002.
Ilustrasi pada gambar 2 memperlihatkan gejala Fishing Down Marine Food Web seperti yang dimaksud. Kecenderungan ini tidak bisa dibiarkan karena pada akhirnya manusia hanya akan bisa menyantap sup ubur-ubur dan plankton.
Pengelolaan di Indonesia
Bagaimana pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia?
Sampai saat ini pihak pemerintah, yakni Departemen Kelautan dan Perikanan yang merupakan pengelola sumber daya perikanan, terus mencari dan menyempurnakan cara yang tepat untuk diterapkan. Salah satu contoh adalah pembagian daerah perairan Indonesia menjadi sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Pembagian wilayah ini didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan.
Pengelompokan tidak didasarkan pada kemiripan ekosistem yang ada, tetapi lebih kepada lokasi pendaratan ikan. Hal ini berpotensi misleading karena dapat terjadi bahwa WPP Laut Jawa dianggap memproduksi tuna tinggi, padahal tuna tersebut sebenarnya berasal dari Samudra Hindia. Tuna ini seolah-olah berasal dari Laut Jawa karena didaratkan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta, yang masuk WPP Laut Jawa.
Aspek pengelolaan wilayah ini erat kaitannya dengan kondisi stok ikan di perairan Indonesia. Kemampuan menduga jumlah populasi ikan (stock assessment) secara akurat sangat ditentukan ketersediaan informasi dan data yang tepat. Hal ini sudah menjadi perhatian para peneliti maupun pengambil kebijakan di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Namun, penentuan jumlah tangkap maksimum lestari (maximum sustainable yield) atau yang lazim dikenal dengan MSY perlu disikapi hati- hati. Berbagai asumsi dalam perhitungan MSY telah banyak berubah dan tidak valid lagi. Salah satu contoh adalah faktor teknologi yang berkembang dengan pesat sehingga kemampuan penangkapan oleh satu unit alat tangkap (catch per unit effort/CPUE) akan sangat dinamis mengikuti perkembangan teknologi. Artinya, koefisien kemampuan penangkapan (catchability coefficient) yang digunakan dalam perhitungan MSY tidak dapat dianggap konstan karena sangat bergantung pada perkembangan teknologi.
Yang tak dilaporkan
Hal lain yang ingin di tekankan adalah pemahaman mengenai Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Setiap tahun Indonesia rugi Rp 1-4 miliar dollar AS akibat kegiatan pencurian ikan. Selain kerugian finansial, kerugian terbesar dialami sumber daya perikanan itu sendiri.
Apabila dijumlahkan secara keseluruhan, hasil tangkapan yang tergolong dalam IUU Fishing akan terlihat bahwa kerugian yang dialami Indonesia adalah sangat signifikan. Berdasarkan hasil penelitian global diperkirakan IUU Fishing mencapai 30-40 persen dari hasil tangkapan total. Dalam definisi kegiatan ilegal pencurian ikan, dimasukkan pula kategori hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported).
Termasuk di dalamnya adalah hasil tangkapan sampingan (by catch) dan kegiatan perikanan yang tidak diatur dalam sistem peraturan dan perundang-undangan (unregulated). Terhadap kedua kategori tersebut, masih sangat minim perhatian yang diberikan, baik oleh para peneliti maupun pengelola perikanan Indonesia.
Dalam banyak kesempatan, komponen unreported dan unregulated masih dianggap tabu untuk dilaporkan, atau tidak perlu dilaporkan sama sekali. Padahal, untuk mengelola suatu sumber daya perikanan yang besar, seperti yang dimiliki Indonesia, persoalan resource accounting sangat penting. Ini untuk memberikan informasi akurat tentang berapa besar sumber daya (perikanan) yang dimiliki dan berapa banyak pula jumlah yang diekstrak dari total ketersediaan sumber daya tersebut melalui kegiatan resmi perikanan.
Saat ini kegiatan pencurian ikan telah menjadi isu yang sangat penting dalam manajemen perikanan dunia. Masalah ini telah berkembang menjadi masalah global sehingga FAO mengeluarkan guideline dalam bentuk Rencana Kerja Internasional (International Plan of Action) sebagai usaha internasional untuk pencegahan dan pemberantasan kegiatan yang sangat merugikan ini.
Saran pengelolaan
Agar pengelolaan optimal, berbagai informasi seperti data hasil tangkapan (jenis ikan, ukuran, dan jumlah), daerah tangkapan (fishing ground) serta upaya penangkapan (effort) merupakan informasi kunci untuk dapat membuat suatu analisis pendugaan stok (stock assessment) yang baik.
Keberhasilan analisis stock assessment sangat bergantung pada akurasi data yang dipakai. Pembagian WPP yang ada saat ini lebih ditujukan untuk memudahkan sistem pendataan. Perlu kiranya dipikirkan untuk membuat pengelompokan berdasarkan kondisi lingkungan perairan dan sifat- sifat bio-ekologis sumber daya perikanan yang terkandung di dalamnya.
Hasil kajian para pakar perikanan Indonesia menunjukkan kondisi tangkap lebih (overfishing) pada beberapa wilayah perairan Indonesia termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Keadaan demikian mengharuskan pihak pengelola (DKP) untuk membatasi pemberian izin penangkapan ikan di daerah-daerah tersebut.
Perlu dilakukan rasionalisasi penangkapan (effort rationalization) untuk mendorong tingkat pemanfaatan yang berlebihan di suatu wilayah menjadi berkurang atau terdistribusi secara lebih merata. Hal ini dapat dilihat dari ketidak- seimbangan fishing effort antara Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur. Di bagian lain, strategi untuk memperkuat peraturan dan perundang-undangan yang jelas dan disiplin dalam membatasi masuknya perusahaan dan individu baru dalam kegiatan perikanan harus ditingkatkan.
Agar semua berjalan baik, diperlukan adanya peraturan dan perundang-undangan yang jelas untuk mengawasi jalannya pemberian izin penangkapan ikan dan budidaya. Pemanfaatan alat tangkap yang merusak lingkungan, seperti trawl, bahan peledak, dan racun sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup biota lainnya di dalam ekosistem sebaiknya dilarang.
Langkah terakhir dalam menyelamatkan sumber daya ikan, terutama di laut, adalah menciptakan daerah-daerah perlindungan laut (marine protected areas). Opsi ini adalah kunci keberhasilan pengelolaan perikanan berbasis lingkungan. Sama halnya dengan makhluk hidup lainnya, di mana diperlukan tempat yang aman dari pemangsaan, demikian pula halnya dengan populasi ikan di laut. Dengan diciptakannya daerah-daerah (zones) yang aman di dalam daerah perlindungan laut dari penangkapan (partial no-take zones), maka diharapkan populasi ikan yang telah mengalami tangkap lebih akan pulih.
Budidaya
Sebagai alternatif dari perikanan tangkap adalah perikanan budidaya meski tetap perlu disikapi hati-hati. Penyebabnya adalah apabila memelihara ikan predator, hal ini hanya akan membuat pembudidayaannya harus menangkap ikan secara berlebihan di laut untuk membuat pakan. Dengan kata lain, ikan-ikan budidaya jenis karnivora tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik bagi stok ikan di laut.
Apabila membudidayakan ikan-ikan jenis memiliki herbivora (trophic level rendah), maka hal ini akan memberikan nilai tambah dalam usaha konservasi populasi ikan di laut, karena tidak akan mengeksploitasi sumber daya ikan di laut untuk konsumsi ikan budidaya yang sebenarnya cocok untuk konsumsi manusia.
Penelitian yang mengarah pada pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan yang berbasis ekosistem sangat diperlukan untuk dijadikan dasar pengambilan kebijakan nasional maupun daerah. Hubungan antara kondisi perairan, seperti sifat-sifat oseanografis, dan sumber daya ikan yang terkandung di dalamnya harus dapat dimengerti dan dapat diakses dengan baik agar dapat dijadikan modal informasi bagi para nelayan dan petambak untuk menentukan kegiatan mereka.

Tidak ada komentar: